Thursday, November 21, 2013

Jogja, Kota Ternyaman di RI Tahun 2013


Indonesia memiliki banyak kota-kota untuk dijadikan tempat tinggal. Dari sekian banyak kota di Indonesia, ada satu kota yang mendapatkan predikat ‘The Most Liveable City’ atau kota ternyaman untuk ditinggali, di mana?Yogyakarta boleh berbangga karena menjadi sebuah kota yang ternyaman untuk disinggahi menurut para pakar Ikatan Ahli Perencanaan.

Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak menyebutkan, dari survey yang dilakukan Ikatan Ahli Perencanaan, kota yang memiliki indikator sebagai kota ternyaman untuk ditinggali di Indonesia adalah Yogyakarta. “Kemarin Ikatan Ahli Perencana melihat Yogyakarta termasuk yang tinggi, yang termasuk liveable,” kata Hermanto di sela acara peringatan Hari Tata Ruang 2013 di Taman Menteng, Jakarta, Minggu (10/11/2013).
Pemeringkatan tersebut dilakukan Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) yang menggunakan sembilan indikator. Diantaranya, tata ruang lingkungan, transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, infrastruktur, ekonomi, keamanan dan kondisi sosial.
“Secara berturut-turut tahun 2009 dan 2011, Kota Yogyakarta menduduki peringkat paling nyaman ditinggali di Indonesia,” kata Dekan FTSP UII Yogyakarta, Moch Teguh pada ‘International Conference on Sustainable Built Environment’ (ICSBE) di Sleman, Selasa (10/7).
Konferensi ini menghadirkan pembicara Collin Duffield (University of Melbourne, Australia), Huseyin Gokcekus (Siprus), Kohei Komatsu (Kyoto University), Kazuhiro Toyoda (Hokkaido University), Ibrahim Numan (Turki), Jim LaMoreaux (Amerika Serikat).
Jogja, atau sering juga disebut Yogyakarta atau Yogya, berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) yang dirilis pada akhir tahun 2009 lalu, menempati urutan pertama kota ternyaman di Indonesia. IAP merilis Most Livable City Index sebagai sebuah indeks tahunan yang menunjukkan tingkat kenyamanan warga kota untuk tinggal, menetap dan beraktivitas di suatu kota, yang ditinjau dari berbagai aspek perkotaan. Indeks ini dihasilkan dengan dengan pendekatan : ”Snapshot, Simple and Actual” yang dilakukan melalui survey kepada 1200 warga di 12 Kota Besar di Indonesia. Dua belas (12) kota besar itu, yaitu : Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Palangkaraya, Pontianak, Menado, Makassar dan Jayapura.
Kriteria yang digunakan dalam survey ini didasarkan pada hasil Simposium Nasional : “Masa Depan Kota Metropolitan Indonesia” yang diadakan di kota Medan 4 Desember 2008 lalu, yang menggunakan tujuh variabel utama perkotaan, yaitu: Fisik Kota, Kualitas Lingkungan, Transportasi – Aksesibilitas, Fasilitas, Utilitas, Ekonomi dan Sosial. Berpedoman pada tujuh variabel tersebut, kemudian ditetapkan 25 kriteria penentuan liveable city seperti berikut ini: (1) Kualitas penataan kota, (2) Jumlah ruang terbuka, (3) Ketersediaan angkutan umum, (4) Kualitas angkutan umum, (5) Ketersediaan lapangan kerja, (6) Fasilitas untuk kaum difabel, (7) Perlindungan bangunan bersejarah, (8) Kebersihan, (9) Tingkat pencemaran lingkungan, (10) Kondisi jalan, (11) Fasilitas pejalan kaki, (12) Ketersediaan fasilitas kesehatan, (13) Kualitas fasilitas kesehatan, (14) Ketersediaan fasilitas pendidikan, (15) Kualitas  fasilitas pendidikan, (16) Ketersediaan air bersih, (17) Kualitas air bersih, (18) Jaringan telekomunikasi, (19) Informasi pelayanan Publik, (20) Hubungan antar penduduk, (21) Ketersediaan listrik, (22) Ketersediaan fasilitas rekreasi, (23) Kualitas fasilitas rekreasi, (24) Tingkat aksesibilitas tempat kerja, (25)  Tingkat kriminalitas.
Hasil survey ini sangat menggelitik saya untuk menggali lebih dalam mengenai kebenarannya. Terlebih bagi saya yang ‘asli’ Jogja dan saat ini sedang bermukim di Jogja (sebelumnya saya bermukim di Jakarta). Harus saya akui bahwa kota Jogja memang tidak semacet Jakarta dan tidak segegap gempita ibukota itu. Hal ini tentu saja menurunkan angka stres bagi warganya. Hal positif lainnya adalah dalam hal pendidikan. Di kota ini kita bisa belajar apa saja yang kita mau, dengan harga yang relatif murah. Dari pendidikan formal hingga non formal, dari belajar bahasa (dengan komunitas native speakernya) hingga menggambar, dari belajar pemrograman hingga robotik. Pendek kata, kursus apa pun bisa kita temui disini. Kondisi jalan juga relatif halus mulus, merata hingga ke desa-desa. Dalam hal ketersediaan fasilitas rekreasi, kota Jogja dikarunia berbagai kelengkapan keindahan alam, dari candi hingga pantai. Namun sayang, kebersihannya kurang terurus, terutama di berbagai wisata pantainya.
Namun menurut saya, ada beberapa hal yang tidak nyaman pula di kota ini, seperti: kualitas angkutan umum, jumlah ruang terbuka, fasilitas pejalan kaki, dan pelayanan publik. Kualitas angkutan umum memang harus diakui menjadi lebih baik sejak adanya bis ‘Trans Jogja’ yang beroperasi di ’sebagian’ kota. Namun angkutan lainnya (seperti: angkot, bis, ojek) sebagai ‘feeder’ menjadi perlahan-lahan ‘mati suri’. Hal ini memang tidak terlalu menjadi masalah bagi warga kota yang memiliki kendaraan pribadi (motor atau mobil). Namun dampak dari kendaraan pribadi (terutama jumlah motor yang memenuhi jalan dan perilaku pengendaranya) menimbulkan berkurangnya fasilitas bagi pejalan kaki dan sepeda. Dampak lain yang ditimbulkan adalah polusi yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga. Alih-alih fasilitas untuk warga yang difabel, fasilitas untuk pejalan kaki saja tidak tersedia dengan nyaman. Hal lain yang harus diperhatikan adalah sifat dan perilaku warga Jogja yang cenderung ‘nrimo’, mungkin juga mempengaruhi penilaian para responden.

Sumber : http://mpkd.ugm.ac.id