Indonesia memiliki banyak kota-kota untuk dijadikan tempat tinggal. Dari sekian banyak kota di Indonesia, ada satu kota yang mendapatkan predikat ‘The Most Liveable City’ atau kota ternyaman untuk ditinggali, di mana?Yogyakarta boleh berbangga karena menjadi sebuah kota yang ternyaman untuk disinggahi menurut para pakar Ikatan Ahli Perencanaan.
Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto
Dardak menyebutkan, dari survey yang dilakukan Ikatan Ahli Perencanaan,
kota yang memiliki indikator sebagai kota ternyaman untuk ditinggali di
Indonesia adalah Yogyakarta. “Kemarin Ikatan Ahli Perencana melihat
Yogyakarta termasuk yang tinggi, yang termasuk liveable,” kata Hermanto
di sela acara peringatan Hari Tata Ruang 2013 di Taman Menteng, Jakarta,
Minggu (10/11/2013).
Pemeringkatan tersebut dilakukan Ikatan
Ahli Perencanaan (IAP) yang menggunakan sembilan indikator. Diantaranya,
tata ruang lingkungan, transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas
pendidikan, infrastruktur, ekonomi, keamanan dan kondisi sosial.
“Secara berturut-turut tahun 2009 dan
2011, Kota Yogyakarta menduduki peringkat paling nyaman ditinggali di
Indonesia,” kata Dekan FTSP UII Yogyakarta, Moch Teguh pada
‘International Conference on Sustainable Built Environment’ (ICSBE) di
Sleman, Selasa (10/7).
Konferensi ini menghadirkan pembicara
Collin Duffield (University of Melbourne, Australia), Huseyin Gokcekus
(Siprus), Kohei Komatsu (Kyoto University), Kazuhiro Toyoda (Hokkaido
University), Ibrahim Numan (Turki), Jim LaMoreaux (Amerika Serikat).
Jogja, atau sering juga disebut
Yogyakarta atau Yogya, berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh
Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) yang dirilis pada akhir tahun 2009
lalu, menempati urutan pertama kota ternyaman di Indonesia. IAP merilis
Most Livable City Index sebagai sebuah indeks tahunan yang menunjukkan
tingkat kenyamanan warga kota untuk tinggal, menetap dan beraktivitas di
suatu kota, yang ditinjau dari berbagai aspek perkotaan. Indeks ini
dihasilkan dengan dengan pendekatan : ”Snapshot, Simple and Actual” yang
dilakukan melalui survey kepada 1200 warga di 12 Kota Besar di
Indonesia. Dua belas (12) kota besar itu, yaitu : Medan, Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Palangkaraya,
Pontianak, Menado, Makassar dan Jayapura.
Kriteria yang digunakan dalam survey ini didasarkan pada hasil Simposium Nasional : “Masa Depan Kota Metropolitan Indonesia”
yang diadakan di kota Medan 4 Desember 2008 lalu, yang menggunakan
tujuh variabel utama perkotaan, yaitu: Fisik Kota, Kualitas Lingkungan,
Transportasi – Aksesibilitas, Fasilitas, Utilitas, Ekonomi dan
Sosial. Berpedoman pada tujuh variabel tersebut, kemudian ditetapkan 25
kriteria penentuan liveable city seperti berikut ini: (1) Kualitas
penataan kota, (2) Jumlah ruang terbuka, (3) Ketersediaan angkutan umum,
(4) Kualitas angkutan umum, (5) Ketersediaan lapangan kerja, (6)
Fasilitas untuk kaum difabel, (7) Perlindungan bangunan bersejarah, (8)
Kebersihan, (9) Tingkat pencemaran lingkungan, (10) Kondisi jalan, (11)
Fasilitas pejalan kaki, (12) Ketersediaan fasilitas kesehatan, (13)
Kualitas fasilitas kesehatan, (14) Ketersediaan fasilitas pendidikan,
(15) Kualitas fasilitas pendidikan, (16) Ketersediaan air bersih, (17)
Kualitas air bersih, (18) Jaringan telekomunikasi, (19) Informasi
pelayanan Publik, (20) Hubungan antar penduduk, (21) Ketersediaan
listrik, (22) Ketersediaan fasilitas rekreasi, (23) Kualitas fasilitas
rekreasi, (24) Tingkat aksesibilitas tempat kerja, (25) Tingkat
kriminalitas.
Hasil survey ini sangat menggelitik saya
untuk menggali lebih dalam mengenai kebenarannya. Terlebih bagi saya
yang ‘asli’ Jogja dan saat ini sedang bermukim di Jogja (sebelumnya saya
bermukim di Jakarta). Harus saya akui bahwa kota Jogja memang tidak
semacet Jakarta dan tidak segegap gempita ibukota itu. Hal ini tentu
saja menurunkan angka stres bagi warganya. Hal positif lainnya adalah
dalam hal pendidikan. Di kota ini kita bisa belajar apa saja yang kita
mau, dengan harga yang relatif murah. Dari pendidikan formal hingga non
formal, dari belajar bahasa (dengan komunitas native speakernya) hingga
menggambar, dari belajar pemrograman hingga robotik. Pendek kata, kursus
apa pun bisa kita temui disini. Kondisi jalan juga relatif halus mulus,
merata hingga ke desa-desa. Dalam hal ketersediaan fasilitas rekreasi,
kota Jogja dikarunia berbagai kelengkapan keindahan alam, dari candi
hingga pantai. Namun sayang, kebersihannya kurang terurus, terutama di
berbagai wisata pantainya.
Namun menurut saya, ada beberapa hal
yang tidak nyaman pula di kota ini, seperti: kualitas angkutan umum,
jumlah ruang terbuka, fasilitas pejalan kaki, dan pelayanan publik.
Kualitas angkutan umum memang harus diakui menjadi lebih baik sejak
adanya bis ‘Trans Jogja’ yang beroperasi di ’sebagian’ kota. Namun
angkutan lainnya (seperti: angkot, bis, ojek) sebagai ‘feeder’ menjadi
perlahan-lahan ‘mati suri’. Hal ini memang tidak terlalu menjadi masalah
bagi warga kota yang memiliki kendaraan pribadi (motor atau mobil).
Namun dampak dari kendaraan pribadi (terutama jumlah motor yang memenuhi
jalan dan perilaku pengendaranya) menimbulkan berkurangnya fasilitas
bagi pejalan kaki dan sepeda. Dampak lain yang ditimbulkan adalah polusi
yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga. Alih-alih fasilitas untuk
warga yang difabel, fasilitas untuk pejalan kaki saja tidak tersedia
dengan nyaman. Hal lain yang harus diperhatikan adalah sifat dan
perilaku warga Jogja yang cenderung ‘nrimo’, mungkin juga mempengaruhi
penilaian para responden.
Sumber : http://mpkd.ugm.ac.id